Saturday, April 26, 2014

CERITA (YANG) PENDEK

me, avi dana at 11:27 PM
Aku memandang ke luar jendela. Rintik-rintik hujan jatuh di kaca yang menyalurkan pandanganku ke pemandangan di depan kamar. Air itu jatuh perlahan-lahan, membelai perasaan yang juga tak kunjung reda. Kupegangi pundakku sendiri, menguatkan hatiku sendiri, dan melindungi diriku sendiri dari dingin yang semakin menusuk. Tidak ada apa-apa di sana, baik di dalam tatapanku maupun di luar jendela kamarku. Kenyataan bahwa ini merupakan hari terakhirku berada di kota yang memiliki begitu banyak kenangan ini, kenyataan bahwa ini merupakan kesempatan terakhirku sebelum aku kembali ke kota tempat aku harus menjalani hidup seperti sediakala, membuatku semakin resah di setiap detiknya. Tujuanku ke kota ini belum juga dapat kupenuhi malam ini.

Kemudian jantungku berhenti berdetak, hal yang rutin aku lakukan ketika memikirkanmu.

Suara mesin yang sangat aku kenali itu semakin lama semakin keras terdengar di telinga. Setiap detik, semakin membuncah hati ini mendengarnya. Tatapanku tetap kosong, isi kepalaku tidak berani berharap terlalu banyak. Tapi hatiku tau, suara mesin yang kemudian berhenti berdentam itu adalah yang kunantikan sejak tadi, sejak aku datang ke kota ini. Kuberanikan diri membuka tirai kamarku. Kuberanikan diri melihat dari sudut mataku. Kuberanikan diri memutar kepalaku. Kuberanikan diri menerima apa yang sedang aku lihat di depan gerbang rumahku, kamu. Kamu, membenarkan rambutmu yang basah terkena hujan. Kamu, dengan gigi bergemeletuk menahan dinginnya malam. Kamu, yang dengan gerakan sangat lambat menyentuh lonceng di depan gerbang. Kupandangi tanganmu yang secara perlahan menggoyangkannya hingga menciptakan bebunyian yang sangat merdu di telinga. Sepersekian detik kemudian aku tersadar. Aku segera berlari keluar kamar.

Aku masih tidak percaya itu benar-benar kamu.

Wajahmu tidak pernah berubah sejak terakhir kali aku melihatmu. Tetap keras, tegas, dingin, diam, tetapi selalu menghancurkan pertahananku hingga menjadi butiran-butiran yang lebih lembut dari salju. Kamu tanpa kata apapun, dan aku tetap mencintaimu dalam diam. Aku bukakan pintu itu untukmu masuk ke rumah, lalu kita akan berbagi apa saja, bercerita apa saja seperti yang biasa kita lakukan sebelum aku harus menghabiskan hidupku di luar kota sana. Aku mencoba tersenyum. Dan kamu, aku tidak akan pernah melupakan segala detail tentang kamu yang tersenyum sambil memandangiku malam ini.

Kita terdiam, entah untuk beberapa saat atau untuk selamanya.

Hingga pada akhirnya kau tersenyum lagi padaku, dan aku tidak bisa menahan segala rasa bahagia yang sempat larut dalam hujan sedari tadi. "Aku minta maaf", katamu. "Aku baru datang sekarang." Aku memilih menjawabmu dengan diam. Ada sebuah perasaan sedih yang menyelinap di dada setiap kali aku mengingat betapa jarang kita memiliki waktu-waktu seperti ini. Air mataku mulai berkumpul di ujung mata saat aku mendengarnya. "Aku tidak bermaksud terlambat. Aku tidak bermaksud datang di saat-saat terakhir kamu akan pulang seperti ini. Aku tidak bermaksud membuat kamu marah dan menunggu hingga selama ini." Aku tetap diam, dan menunduk menahan air mata yang sudah meronta ingin keluar. Kamu memandangiku sangat lama, dan sangat dalam. Kamu diam saja menungguku bicara. Aku memutuskan untuk menoleh dan balik memandangimu dan mengeluarkan jawaban, "bagiku, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali."

Sebenarnya hanya itu yang perlu kamu tahu. Semudah itu kamu bisa membuatku bahagia.

Kamu tersenyum. Lalu kita diam dalam waktu yang lama. "Aku minta maaf", katamu. "Aku sibuk akhir-akhir ini, aku tidak bisa menghubungimu." Aku mendengarmu berkata demikian, namun aku memutuskan untuk kembali diam memandangi dedaunan yang basah di depan rumah karena hujan yang masih belum mereda juga. "Aku bingung", katamu lagi.
"Kenapa?"
"Bingung. Aku bingung apa yang aku bingungkan."
"There must be a reason."
"No reason, aku cuma bingung harus bagaimana."
Aku menoleh ke arahmu. Aku tahu kamu bimbang, maka aku berhenti menanyaimu dan memutuskan untuk tersenyum saja. "Aku juga bingung," kataku. Wajahmu yang bimbang tadi mengerut lalu menoleh ke arahku. "Kenapa?" tanyamu. "Aku bingung mengapa kau memiliki sangat banyak waktu dengan teman-temanmu tapi tidak memiliki waktu untukku."

Aku tahu kau kesal dengan pertanyaanku. Tapi aku hanya ingin kamu menjawabnya.

Kamu diam, sudah kutebak. Dan tebakanku terpatahkan beberapa detik kemudian. "Ini waktuku untuk kamu," katamu setengah berbisik. Aku tersenyum mendengarnya. Aku tidak tahu kenapa aku tersenyum mendengarkan kamu mengatakannya, tapi aku memang senang. Aku bersyukur kita masih memiliki malam ini untuk berbagi, dan mengutarakan segalanya yang selama ini hanya bisa kami pendam satu sama lain. "Aku minta maaf", katamu, untuk kesekian kalinya. "Aku tidak punya banyak waktu untuk kamu." Dan aku diam, untuk kesekian kalinya, merasa sangat sedih mendengarmu. Aku selalu berharap memiliki semua waktu di dunia hanya demi bersamamu. Aku selalu membuat waktu di sela-sela pekerjaanku untuk ke kota ini menemuimu. Aku selalu mengkhawatirkanmu di setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan-bulan yang kupunya tanpamu. Dan kamu bilang, kamu tidak punya banyak waktu untuk aku? Tidakkah kau inginkan waktu sebanyak yang kuinginkan demi bisa bersamamu? Tidakkah kau bisa meluangkan waktu di sela-sela pekerjaanmu? Tidakkah kau memikirkan aku di setiap detikmu?

Aku sadar aku pun tidak boleh egois menginginkanmu separah itu.

Jadi lagi-lagi aku hanya tersenyum. "Tidak apa. Aku hanya perlu bertemu denganmu seperti ini untuk bahagia." Aku tidak bohong, sungguh aku tidak bohong. Aku bahagia berada di dalam radius sedekat ini denganmu malam ini. Hujan dan dingin sudah tidak lagi aku rasakan. Aku hanya merasakan kamu, yang terasa sangat dekat denganku saat ini. Aku berharap kamu mendengar isi kepalaku, betapa tulusnya aku mengatakan itu padamu.

"I want this to last forever and ever." tiba-tiba aku ingat kamu mengatakan itu beberapa tahun yang lalu.

"I want this to last forever and ever," kataku, mencoba mengingatkan perkataanmu sendiri. Kamu diam, entah apa artinya itu. Aku memandangimu dari sudut mataku, tidak memiliki cukup keberanian untuk memandang langsung ke ekspresi wajahmu yang selalu sulit ditebak itu. Kamu tetap tidak bereaksi. Aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku dan menghela nafas panjang. Aku tidak tahu apakah kamu menginginkan ini juga atau tidak. Tapi kemudian kamu menyentuh pundakku. Aku menoleh padamu sedikit demi sedikit, masih merasa ragu. Namun aku melihatmu tersenyum tulus dari sudut mataku. Aku tidak tahu harus berkata apa dan harus merasa bagaimana. Tapi jantungku benar-benar berlarian begitu cepat saat ini. Aku merebahkan kepalaku di dadamu yang hangat. Aku ingin memelukmu seperti ini selamanya. Tujuanku ke kota ini sudah terpenuhi detik ini.

Aku tidak ingin kembali ke kota itu, aku ingin bersamamu selamanya.

* * *

Kepalaku terbentur kursi kereta di depanku dan rasanya sakit sekali. Aku menengok ke sekeliling. Ternyata aku sudah sampai stasiun dan harus segera berkemas turun. Aku menoleh ke arah jendela kereta, di sana memantul bayangan wajahku sendiri. Aku menatap nanar ke arah pantulan wajahku. Matanya yang masih basah dan hidungnya yang memerah. Entah apa yang aku lakukan semalam hingga aku tertidur dan tidak terasa sudah sampai tujuan. Ah, tidak akan ada cukup waktu untuk berpikir. Aku harus segera turun dari kereta ini.

Aku berjalan keluar stasiun, dan di antara beribu orang ini aku merasa sendiri.

Aku mencari tempat duduk di pinggir peron, duduk di sana dan masih tidak mengerti mengapa aku merasa sangat sedih saat ini. Aku merasa sangat hancur, tatapanku kosong entah ke mana. Aku tidak mendengar apa-apa. Aku tidak melihat apa-apa. Aku benar-benar tidak merasakan apa-apa. Aku tidak tahu harus ke mana, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hampa.
Aku termenung di sini sedari aku tiba di sini pagi tadi, hingga matahari mulai menenggelamkan diri. Sesaat kemudian aku mulai mendengar, melihat, dan merasakan bahwa aku sudah terlalu lama berada di sini dengan pikiran yang berpetualang entah ke mana. Aku melihat seorang ibu yang berlarian mengejar anaknya yang masih kecil berlarian. Ibu itu meneriaki anak kecilnya untuk menjauh dari peron. Aku tersenyum kecil. Aku tahu ibu itu marah karena peduli pada si anak kecil. Satu hal yang aku tidak tahu saat ini adalah mengapa aku memikirkan ibu-ibu itu hingga mereka berdua menghilang di balik kerumunan. Pikiranku kembali kosong. Aku masih belum mengingat apa yang terjadi. 

Tapi aku harus beranjak, aku harus menghadapi kehidupanku kembali dengan pikiran hampa ini.

Aku berjalan seperti mayat yang dipaksa hidup kembali. Hujan. Hujan deras yang entah sejak kapan membasahi stasiun ini. Aku pun memanggil taksi untuk mengantarkanku pulang. Pulang? Aku bahkan tidak tahu ke mana aku akan pulang. Aku merasa kota ini bukanlah rumah lagi bagiku. Aku merasa tidak ada kota yang menjadi rumah lagi bagiku. Aku lupa bagaimana rasanya bahagia karena kali ini yang kurasakan hanya sesak. Sesak, tapi kosong.
Di dalam taksi itu aku memandangi air hujan yang jatuh di jendela. Perasaan yang tidak asing ini, perasaan yang dingin ini, perasaan yang aku tidak mengerti mengapa aku rasakan saat ini. Aku mencoba mengingat keras apa yang terjadi hingga rasanya seperti ini. Tapi semakin aku mencoba mengingatnya, semakin aku merasa sesak ingin berteriak.

Aku bingung. Sekarang aku tahu rasanya bingung.

Untuk seketika aku merasa diabaikan oleh dunia. Aku merasa tidak dibutuhkan, merasa dibuang dan disia-siakan. Aku merasa tidak sepantas itu diperjuangkan. Aku merasa tidak cukup istimewa untuk disanjung. Aku merasa tidak cukup berharga untuk ditemukan. Aku merasa tidak cukup baik untuk tidak diperlakukan jahat. Aku merasa tidak didengarkan, tidak dilihat, tidak dirasakan. Aku merasa dilupakan oleh duniaku sendiri.
Tak terasa, air mataku jatuh. Tidak hanya menetes, air mataku mengalir deras membasahi baju hangatku yang aku pakai semalaman di kereta. Sekarang aku tahu apa yang terjadi. Sekarang aku ingat apa yang terjadi.

Aku hanya bermimpi.
Kamu tidak pernah datang menemuiku di kota itu.

0 comments:

Post a Comment

 

Fabulous As I Am Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos